Di Indonesia, sampah kota selalu menjadi permasalahan rumit mulai dari persoalan kesehatan hingga isu sosial yang kerap menimbulkan konflik struktural antara negara c.q pemerintah dan rakyat. Sebenarnya, jika saja pemerintah kota bersedia mengubah cara pandang, maka sampah adalah ‘tambang emas’baru.
Pada cara pandang lama, sampah hanya diartikan sebagai limbah, sisa, atau sesuatu yang harus dibuang bahkan dimusnahkan. Sejatinya, tidak semua sampah harus dimusnahkan. Jangan-jangan bukan sampah yang harus dimusnahkan, melainkan cara pandang yang demikian. Boleh jadi cara pandang model ini sudah usang, ketinggalan zaman, dan katro.
Sampah dalam cara pandang baru dilihat sebagai bahan baku, produk ikutan yang masih perlu diolah, sumber pendapatan yang potensial. Bagi penganut cara pandang baru ini, sampah hanya perlu sedikit sentuhan agar ia menjadi sesuatu yang bernilai. Ditilik dari penggolongan jenis sampah, organik dan tak organik, keduanya dapat didaur ulang. Salah satunya, sampah organik dapat diolah menjadi pupuk (kompos).
Menyoal Prabumulih, besar harapan saya kota ini bisa menjadi pendahulu dalam pengelolaan sampah kota. Terutama keterpaduannya dengan sektor lain, misal pertanian.
Fakta Brutal
Sejak masih berstatus kota administratif (kotif), Prabumulih sudah memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk menampung sampah kota. Sejak sekitar awal dekade 1990-an, di tempat ini sampah masih dikelola dengan cara pandang lama. Bahkan berlanjut hingga 7 tahun sejak Prabumulih ‘naik kelas’ dari status kota administratif menjadi kota.
Pemerintah Kota Prabumulih, dari sebagaimana ditulis Prabumulih Pos, 8 Oktober 2008, mengaku belum mengelola sampah kota menjadi kompos, karena tidak ada “sampah sayuran”. Sekadar tambahan informasi, sedikitnya volume sampah kota Prabumulih saat ini sebesar 130 m3/ hari.
Dalam satu kesempatan tak terencana, beberapa hari silam saya sempat ngobrol ringan dengan Walikota Prabumulih, Drs. Rahman Djalili. Menurut orang nomor satu di kota kecil ini, pemerintah sudah banyak menerima ajuan/tawaran berupa mesin-mesin pengolah sampah. Barangkali salah satunya mesin pembakar (insenerator). Tapi, tawaran-tawaran tersebut tidak pernah sampai bertindaklanjut. Menurutnya, para pengajutawaran mundur ketika minta menunjukkan contoh proyek yang sudah berhasil mengolah sampah kota dengan menggunakan mesin/alat yang mereka ajukan.
Dua hal di atas menunjukkan sebuah fakta brutal. Bila mau sedikit saja berpikir lebih keras, bekerja lebih tekun, fakta brutal adalah modal utama untuk menghasilkan konsep nan ciamik, ilok alap.
Dari dua fakta brutal dalam pengelolaan sampah kota di Prabumulih, sedikitnya ada dua hal yang perlu diubah. Pertama, pemahaman tentang bahan baku kompos. Kedua, pemahaman tentang teknologi pengolahan sampah.
Menuju Kesepahaman
Saya kira, bahan baku kompos yang tersedia di TPA Prabumulih tersedia dalam jumlah banyak. Selain sampah sayuran (termasuk buah) dari pasar, masih tersedia sampah sisa makanan dari rumah makan, sampah domestik, limbah rumah potong hewan, biomassa sisa pangkasan perawatan taman, dan masih banyak lainnya, termasuk limbah pertanian dan produk kehutanan dari Prabumulih dan sekitarnya.
Tentang teknologi, ia tidak serta-merta mesti diartikan mesin atau mekanisasi. Begitupun teknologi pengolahan kompos. Teknologi pengomposan adalah teknologi berbasis bakteri, bukan berbasis mesin.
Kebun terpadu (integrated farm) yang kami kelola di Sukabumi 100% menggunakan pupuk organik yang kami produksi tanpa mesin. Baik kompos padat, maupun pupuk pelengkap cair semua dibuat secara manual dengan alat-alat sederhana. Sebuah mesin sederhana kami pakai untuk mencincang (chopping) bahan organik dengan tujuan mendapatkan ukuran yang homogen.
Pada satu industri kompos skala besar yang dikelola seorang paman, juga nyaris nir-mekanisasi. Di sana, mesin hanya digunakan pada tahapan mencetak kompos yang berbentuk serbuk menjadi butiran granul. Proses pencampuran bahan, fermentasi, serta perlakuan selama dekomposisi berlangsung, dilakukan oleh manusia.
Dalam pengomposan teknologi dalam artian mekanisasi hanyalah piranti untuk mempercepat, tapi bukan hal utama. Sebagai ilustrasi sederhana, sebuah mesin memiliki kapasitas produksi yang tetap, misal 1 satuan volume/satuan waktu. Kapasitas produksi ini tentu berkecenderungan menurun seiring menuanya usia mesin. Sementara kapasitas kerja manusia, berkecenderungan meningkat seiring waktu, apalagi jika dilakukan peningkatan keterampilan, penguatan sistem pengawasan, dan penambahan nilai insentif.
Jadi, pada intinya sebelum meloncat jauh ke wilayah aksi (apalagi proyek), akan jauh lebih baik jika lebih dulu melangkah menuju kesepahaman mengenai pengelolaan sampah kota Prabumulih. Kesepahaman adalah modal dasar untuk menyulap fakta brutal menjadi fakta potensi hingga siap poles menjadi fakta hasil. Dan seandainya masih ada kesempatan, penulis akan terus berbagi ‘tulisan-tulisan sampah’ semacam ini. Sebab, kesepahaman barulah sebuah langkah awal. Meski demikian, ia adalah langkah awal untuk perjalanan panjang... (KATA PA SYAM ASINAR RAJAM)
Pada cara pandang lama, sampah hanya diartikan sebagai limbah, sisa, atau sesuatu yang harus dibuang bahkan dimusnahkan. Sejatinya, tidak semua sampah harus dimusnahkan. Jangan-jangan bukan sampah yang harus dimusnahkan, melainkan cara pandang yang demikian. Boleh jadi cara pandang model ini sudah usang, ketinggalan zaman, dan katro.
Sampah dalam cara pandang baru dilihat sebagai bahan baku, produk ikutan yang masih perlu diolah, sumber pendapatan yang potensial. Bagi penganut cara pandang baru ini, sampah hanya perlu sedikit sentuhan agar ia menjadi sesuatu yang bernilai. Ditilik dari penggolongan jenis sampah, organik dan tak organik, keduanya dapat didaur ulang. Salah satunya, sampah organik dapat diolah menjadi pupuk (kompos).
Menyoal Prabumulih, besar harapan saya kota ini bisa menjadi pendahulu dalam pengelolaan sampah kota. Terutama keterpaduannya dengan sektor lain, misal pertanian.
Fakta Brutal
Sejak masih berstatus kota administratif (kotif), Prabumulih sudah memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk menampung sampah kota. Sejak sekitar awal dekade 1990-an, di tempat ini sampah masih dikelola dengan cara pandang lama. Bahkan berlanjut hingga 7 tahun sejak Prabumulih ‘naik kelas’ dari status kota administratif menjadi kota.
Pemerintah Kota Prabumulih, dari sebagaimana ditulis Prabumulih Pos, 8 Oktober 2008, mengaku belum mengelola sampah kota menjadi kompos, karena tidak ada “sampah sayuran”. Sekadar tambahan informasi, sedikitnya volume sampah kota Prabumulih saat ini sebesar 130 m3/ hari.
Dalam satu kesempatan tak terencana, beberapa hari silam saya sempat ngobrol ringan dengan Walikota Prabumulih, Drs. Rahman Djalili. Menurut orang nomor satu di kota kecil ini, pemerintah sudah banyak menerima ajuan/tawaran berupa mesin-mesin pengolah sampah. Barangkali salah satunya mesin pembakar (insenerator). Tapi, tawaran-tawaran tersebut tidak pernah sampai bertindaklanjut. Menurutnya, para pengajutawaran mundur ketika minta menunjukkan contoh proyek yang sudah berhasil mengolah sampah kota dengan menggunakan mesin/alat yang mereka ajukan.
Dua hal di atas menunjukkan sebuah fakta brutal. Bila mau sedikit saja berpikir lebih keras, bekerja lebih tekun, fakta brutal adalah modal utama untuk menghasilkan konsep nan ciamik, ilok alap.
Dari dua fakta brutal dalam pengelolaan sampah kota di Prabumulih, sedikitnya ada dua hal yang perlu diubah. Pertama, pemahaman tentang bahan baku kompos. Kedua, pemahaman tentang teknologi pengolahan sampah.
Menuju Kesepahaman
Saya kira, bahan baku kompos yang tersedia di TPA Prabumulih tersedia dalam jumlah banyak. Selain sampah sayuran (termasuk buah) dari pasar, masih tersedia sampah sisa makanan dari rumah makan, sampah domestik, limbah rumah potong hewan, biomassa sisa pangkasan perawatan taman, dan masih banyak lainnya, termasuk limbah pertanian dan produk kehutanan dari Prabumulih dan sekitarnya.
Tentang teknologi, ia tidak serta-merta mesti diartikan mesin atau mekanisasi. Begitupun teknologi pengolahan kompos. Teknologi pengomposan adalah teknologi berbasis bakteri, bukan berbasis mesin.
Kebun terpadu (integrated farm) yang kami kelola di Sukabumi 100% menggunakan pupuk organik yang kami produksi tanpa mesin. Baik kompos padat, maupun pupuk pelengkap cair semua dibuat secara manual dengan alat-alat sederhana. Sebuah mesin sederhana kami pakai untuk mencincang (chopping) bahan organik dengan tujuan mendapatkan ukuran yang homogen.
Pada satu industri kompos skala besar yang dikelola seorang paman, juga nyaris nir-mekanisasi. Di sana, mesin hanya digunakan pada tahapan mencetak kompos yang berbentuk serbuk menjadi butiran granul. Proses pencampuran bahan, fermentasi, serta perlakuan selama dekomposisi berlangsung, dilakukan oleh manusia.
Dalam pengomposan teknologi dalam artian mekanisasi hanyalah piranti untuk mempercepat, tapi bukan hal utama. Sebagai ilustrasi sederhana, sebuah mesin memiliki kapasitas produksi yang tetap, misal 1 satuan volume/satuan waktu. Kapasitas produksi ini tentu berkecenderungan menurun seiring menuanya usia mesin. Sementara kapasitas kerja manusia, berkecenderungan meningkat seiring waktu, apalagi jika dilakukan peningkatan keterampilan, penguatan sistem pengawasan, dan penambahan nilai insentif.
Jadi, pada intinya sebelum meloncat jauh ke wilayah aksi (apalagi proyek), akan jauh lebih baik jika lebih dulu melangkah menuju kesepahaman mengenai pengelolaan sampah kota Prabumulih. Kesepahaman adalah modal dasar untuk menyulap fakta brutal menjadi fakta potensi hingga siap poles menjadi fakta hasil. Dan seandainya masih ada kesempatan, penulis akan terus berbagi ‘tulisan-tulisan sampah’ semacam ini. Sebab, kesepahaman barulah sebuah langkah awal. Meski demikian, ia adalah langkah awal untuk perjalanan panjang... (KATA PA SYAM ASINAR RAJAM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar