Pages

Rabu, 21 Desember 2011

penanggulangan sampah


Konsepsi tentang tanggung jawab lingkungan atau environmental responsibility dari berbagai pihak demi terwujudnya keutuhan dan keberlanjutan lingkungan hidup dipersepsikan secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan, terutama oleh pihak-pihak yang berkepentingan (steakholder). Padahal masalah tanggung jawab tidak bisa dilepasakan dari masalah hak dan kewajiban sebagiamana diatur dalam banyak ketentuan. Misalanya undang-undang no. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. atau yang lebih tinggi lagi, bahwa dalam pertemuan KTT Bumi di Johannesburg pada tahun 2002 lalu salah satu konvensi yang disepakati adalah konvesi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (KKH) yang mengatur konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan, pembagian keuntungan yang adil dan akses pada teknologi serta sumber daya hayati.
Sebagai ibukota negara RI tentunya keberadaan DKI Jakarta memiliki fungsi yang sangat kompleks. Selain tempat bernaungnya pusat pemerintahan, DKI Jakarta juga mempunyai sejuta pesona bagi kelompok-kelompok bisnis maupun pencari kerja untuk mengadu nasib di kota metropolitan. Bahkan para gembel yang hanya modal dengkul tidak ketinggalan untuk dapat masuk dalam pentas persaingan “usaha” demi sekedar untuk mencari sesuap nasi.
Wilayah seluas 637,44 km2 dan berpenghuni kurang lebih 11 juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis dan budaya ini merupakan kawasan terpadat di Indonesia. Dengan keberagaman tersebut, Jakarta yang pertama kali dicanangkan dengan nama kota Batavia tidak salah kalau disebut sebagai miniatur negara Indonesia. Ditengah gemerlapnya kehidupan yang metropolis dan hedonis, hampir 80% warga Jakarta berada dalam kehidupan yang sangat memprihatinkan bahkan tidak manusiawi. Diantara gedung pencakar langit dan rumah istana kalangan hedonis, masih terdapat sebagian warga berpenghasilan pas-pas-an hidup dalam ruang petak 3 X 4 m berkapasitas 15 jiwa. Dengan penghasilan rata-rata Rp. 1.400.000 per kapita/tahun, kaum mayoritas menengah ke bawah masih dibebani dengan berbagai pajak.
Dampak dari sebuah sistem distribusi informasi dan kekayaan yang tidak seimbang ini, berimplikasi pada terjadinya kesenjangan yang sangat tajam. Tindak kriminal yang semakin tak dapat dikendalikan membuat setiap individu kehilangan rasa aman. Kesenjangan telah memicu golongan tak mampu dan tak berpendidikan ingin menguasai harta pemilik modal dengan cara apapun. Perbedaan kepentingan dan pendapatan masing-masing kelompok ini, melahirkan situasi saling mencurigai satu sama lain yang berimplikasi pada terjadinya konflik sosial. 
Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta  dalam pengelolaan wilayah dan pembangungan, tidak memberikan sekala ruang dan sosial yang dapat diterima oleh masyarakat lokal, disamping itu cara kerja Institusi Pemerintah dan Swasta dalam usahanya tidak memelihara bentuk inovatif kerja sama serta tindakan sosial, sehingga informasi mengenai bagaimana sumber daya dan ruang dimanfaatkan dan siapa yang mendapat keuntungan dari pemanfaatan tersebut tidak pernah tersosialisasikan. Apalagi melibatkan masyarakat lokal dalam suatu manajemen kooperatif dan mendisain proyek, merupakan suatu hal yang mustahil.

Hasil pemantauan WALHI DKI Jakarta selama ini, bahwa konsepsi pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup di Jabotabek umumnya dan pengelolaan sampah khususnya, realisasinya akan sangat sulit dilaksanakan karena proses perubahan sosial-ekonomi masyarakat terus berjalan tanpa adanya perhatian dari pelaksana pembangunan. Etika lingkungan hidup masyarakat di perkotaan dibiarkan tergusur oleh mekanisme pertumbuhan ekonomi pasar yang tidak ramah lingkungan dan mengabaikan eksistensi masyarakat lokal, hal ini diawali oleh penyeragaman tatanan birokrasi pemerintahan yang diatur menurut paham pemaksaan partisipasi birokrasi formal. Kerusakan dan penyusutan sumber daya alam dalam konsep pengelolaan berkelanjutan menunjukkan adanya konflik pergeseran nilai etika ekologi ke arah rente ekonomi-sosial cost yang mengakibatkan dampak pengurasan daya dukung sosial-ekologi.

Pemanfaatan dan pengelolaan sampah secara partisipatip sangat penting dilakukan yang dimulai dari tingkat basis dengan mengembangkan gagasan-gagasan pengelolaan sampah di 5 kelurahan di DKI Jakarta. Gagasan ini diintegrasikan dalam pengelolaan sumber daya alam regional (regional resources management) dan Tata Ruang Wilayah, yang dapat merupakan alternatif solusi dalam mengurangi konflik dan kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya, suatu hal yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat urban adalah sumber daya alam, yang merupakan bagian dari proses produksi masyarakat perkotaan. Bersamaan dengan aset-aset lainnya, seperti sumber daya manusia, kelembagaan, sumberdaya sosial, pendidikan dan pelatihan, masyarakat akan berproses menuju pada perumusan skenario pengelolaan wilayah masa depan, melalui membangun kesepakatan antara masyarakat dengan Pemerintah dan Swasta dalam menyusun kebijakan pengelolaan sampah.

Keluaran dari proses ini adalah, adanya acuan bersama berupa konsep pengelolaan sampah partisipatif yang mengatur mekanisme dan distribusi pemanfaatan dan pengelolaan sampah organic maupun anorganik. Hal ini penting dilakukan karena acuan tentang pengelolaan sampah partisipatif sebagai bentuk aspirasi dan partisipatif dalam menjamin lingkungan hidsup yang baik dan sehat serta sumber kehidupan yang akan mengikat semua komunitas perkotaan. Tiga point penting dalam pengelolaan samp[ah secara partisipatif, pertama mengembangkan gagasan perencanaan dan pengelolaansampah di tingkat basis. kedua, Adanya komunitas perkotaan baik kalangan menengah keatas maupun kalangan miskin kota yang mampu mengelola dan memanfaaatkan sampah.   ketiga, Tersosialisasimya pengelolaan sampah yang partisipatif.  keempat, Adanya kaukus tentang pengelolaan sampah di DPRD DKI Jakarta.



Sejak dilakukan pemantauan dan identifikasi serta pertemuan dengan beberapa kelompok masyarakat maka permasalahan utama yang sering muncul sebagai konflik adalah keterbatasan ruang usaha masyarakat (teknologi dan system pengelolanan sampah) serta semakin tingginya tingkat konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan. Masalah ruang usaha masyarakat semakin terasa setelah berbagai kebijakan Pemerintah yang mendukung investor membutuhkan ruang sangat luas, seperti mall, plaza, apartemen, Pembangunan Pabrik/kawasan Industri, dan dll. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Propinsi tidak pernah melibatkan masyarakat dalam keseluruhan proses, serta informasi ke publik tidak pernah mencapai sasaran, sehingga hal ini juga melemahkan dalam upaya penegakan hukum  Pada beberapa kasus di kawasan 13 bantaran sungai masyarakat melakukan pembuangan sampah ke sungai karena ketiadaan kesadaran dan fasilitas untuk mengelola dan memanfaatkan sampah. Pada permasalahan yang lain adalah sebagaian masyarakat tidak peduli dengan sampah karena telah dibebani retribusi sampah setiap bulan sehingga mengganggap persoalan sampah telah menjadi kewajiban Dinas kebersihan dan Pemulung. Disadari bersama bahwa gunungan dan pencemaran sampah serta merosotnya kualitas lingkungan hidup tidak perlu terjadi, jika telah ada telah ada kesepahaman dan telah ada model pengelolaan sampah yang partisipatif.


1.1. Sampah Jakarta


Pengelolaan sampah bercirikan monopolistic, sentralistik, tertutup dan tidak melibatkan masyarakat mulai dari level masyarakat hanya menanggung persoalan semakin berat, sementara ancaman terhadap kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan manusia bagai musuh yang mematikan.  Ironisnya, ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola sampah secara profesional menimbulkan dampak dan persoalan serius bagi warga di luar Jakarta.

Rakusnya pembangunan tanpa memperhatikan keseimbangan ekologi turut memberikan kontribusi signifikan bagi hancurnya peradaban Jakarta. Problema banjir dikawasan perkotaan seperti Jakarta bukan Cuma ditimbulkan oleh aktivitas di hulu. Penduduk yang tinggal disekitar bantaran sungai juga memberikan kontribusi terhadap problem merosotnya daya dukung lahan di DAS. Masyarakat tetap saja memanfaatkan sungai untuk tempat pembuangan sampah. Bahkan ada yang melakukan reklamasi secara liar dengan cara menimbun sungai untuk memperluas lahan pribadinya. Sejatinya, problem akibat reklamasi sungai dapat diminimalisir apabila ada penegakan hukum secara tegas dan diadakan pengerukan untuk memperdalam dasar sungai. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Tumpukan sampah rumah tangga telah mengakibatkan pendangkalan sungai. Menurut data yang diungkapkan kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemprov DKI Jakarta (1996), jumlah sampah yang tertimbun di 13 sungai di seluruh DKI Jakarta mencapai 1.400 m3 atau 25 % yang dapat dikeruk. Sedangkan 650 m3 sisanya terbuang ke laut dan menyisakan problema lanjutan berupa pencemaran air laut. Sisanya lagi 400 m3, mengedap ke dasar sungai sehingga sungai mengalami pendangkalan.
Perhitungan diatas terjadi setiap hari. Jadi dalam satu tahun terdapat sekitara 365 x 400 m3 = 146.000 m3 sampah yang mengedap di dasar sungai. Jumlah tersebut sudah lebih dari cukup untuk menimbulkan datangya banjir dimusim penghujan.

 Sedangkan data lain menyebutkan bahwa pada Tahun 1997/1998 jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 9, 1 juta jiwa setiap penduduk memprosuksi sampah rata-rata 2,92 liter/perhari, maka total produksi mendapai 25.824 m3 per hari. Sedangkan sampah yang bisa terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) rata-rata 84,68 % atau 21.876 m3 per hari. Sedangakn sisanya tidak terangkut dan tercecer di selokan, jalan-jalan, termasuk tercecer di bantaran 13 sungai di Jakarta dan yang masuk ke sungai-sungai tersebut cukup tinggi akibat terseret air disaat musim hujan. Sarana truk pengakut sampah pada tahun 1998 sebanyak 867 buah, yang efektif dapat difungsikan 716 buah dan masing-masing truk berkapasitas rata-rata 10 m3. Dalam setiap hari idealnya angkutan yang dibutuhkan 1.300 buah, dengan asumsi truk-truk tersebut dapat mengakut 2-3 rit per hari. 
Tahun 1999 jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 9.489.400 jiwa dengan tingkat kepadatan 16.084 jiwa per km2 dan pada tahun 2000 menjadi 9.720.400 jiwa lebih. Melonjaknya jumlah penduduk berimplikasi semakin menaikkan volume sampah secara signifikan. Dalam kurun waktu tahun 1999 rata-rata penduduk Jakarta memprodukasi sampah 2,77 liter/orang/hari atau kalau diakumulasikan mendapai 26.320 m3 per hari.  Sedangkan tingkat pelayanan, dengan mengandalkan pengakut 743 truk dan yang efektif 684 truk diperkitakan yang bisa terlayani berkisar 85,7 % atau 22.558 per hari yang dapat terangkut ke TPA. 
Pada tahun 2000 diperkirakan pendudukan Jakarta menghasilkan sampah padat kurang lebih 25.600 m3 atau 6.400 ton per hari. Sampah ini ditimbulkan dari berbagai lokasi kegiatan masyarakat yaitu daerah perumahan (58%), pasar (10%), daerah komersial (15%), daerah industri (15%), serta jalan, taman dan sungai (2%). Sampah ini dapat dibagi dalam dua jenis sampah, yaitu sampah organik (65%) dan non-organik (35%). Pada tahun 2001, estimasi sampah padat yang terkumpul dan diangkut kurang lebih 70% ke TPA Bantar Gebang, 16,5% terdistribusi ke lokasi-lokasi informal, dan 13% tidak terkelola (seperti dibuang ke selokan dan sungai serta sepanjang pinggir jalan). (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005). 
Seiring dengan pertambahan kepadatan penduduk diperkirakan volume sampah dari tahun-ketahun akan semakin meningkat. Sementara itu dari sisi system pengelolaannya tidak sesuai dengan rencana dan prosedsur yang telah ditetapkan. Pengelolaan dengan system sanitary landfill yang pernah ditetapkan di TPA Bantar Gebang ternyata pada prakteknya mengunakan system open dumping. System pengelolaan dengan cara penumpukan sampah di atas tanah terbuka. Meskipun system open damping dapat menekan biaya akan tetapi tidak mungkin dilakukan di Jakarta. Selain memerlukan lahan yang luas juga akan sangat berpengaruh buruk terhadap lingkungan, berupa sumber penyakit, tenpat binatang bersarang, sampah berserakan terbawa aliran permukaan atau masuk keperairan umum, dan menimbulkan bau.
Proses pengelolan sampah yang tidak partisipasif dan monopolistic tersebut telah memberikan dampak yang luar biasa. Akibat penyelewenbgan prosedur pengelolaan di TP Bantar Gebang, telah terjadi pencemaran asap akibat kebakaran, bau busuk, limbah leachet pembawa virus ecoli, yang menyebabkan pensusuk sekatar velbaak terserang berbagai penyakit. Hasil Penelitian Dinas Kesehatan, Dinas kebersihan dan lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebutkan bahwa pencemaran di bantar Gebang pada bulan September 1999 menyebutkan sebagai berikut : (1) 40 % derajat keasaman air sudah diambang batas, (2) 95 % ditemukan bakteri Ecoli pada air tanah (bakteri yang bisa menyumbat saluran pernafasan), (3) 35 % tercemar Slamonella (virus penyebab tifus), (4) 34 % foto rontgen ditemukan penduduk positif menderita TBC, (5) 99 % warga sekitar bantar Gebang mengalami infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), dan (6) 8 % penduduk mengalami tukak tulang. Bahkan sejumlah penduduk local mengatakan ada beberapa orang yang mati sesak nafas akibat asap.
Pengelolaan sampah dengan system open dumping telah memberikan dampak kerusakan lingkungan yang semakin parah. Pada akhir tahun 2003 pemprov DKI Jakarta menetapkan kawasan Rawamalang, Cilincing, Jakarta Utara sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan system open Dumping. Dua bulan setelah pengoperasian system ini telah memberikan dampak terhadap lingkungan sangat serius. Menurut Deputi V Kementrian Lingkungan Hidup RI, bidang Pengendalian Lingkungan Sumber Non Institusi, Tanwir Yasid Mukawi, hasil pemantauan lapangan dan analisa sample terhadap TPA Sampah “Rorotan Babek” Cilincing menunjukkan daerah tersebut ttelah tercemar. Sampah dan air limbah cair (lindi) yang dibuang dikawasan ini telah mencemari lingkungan sekitar, termasuk lima hektar tambak udang milik warga sekitar. Selain mencemari sungai, limbah cair yang dihasilkan TPA sampah juga telah mengubah peruntukan air disekitarnya.

II. PERMASALAHAN

2.1.  Masalah Umum
Berkaitan dengan Kebijakan Pemerintah nampak bahwa Kebijakan pengelolaan sampah masih bersifat monopolistic dan setralistik pada Departemen-Departemen sektoral, yang telah secara nyata menimbulkan persoalan atau konflik kebijakan, peraturan, kewenangan institusi maupun program masing-masing. Pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan masalah akan tetapi hanya memindahkan masalah dan lebih ekstrim lagi karna kaitannya dengan lahan pengengelolaan tidak di Jakarta semakin memperuncing masalah. Masyarakat akan memendam ketidakpuasan yang berujung pada konflik yang akan berubah menjadi perlawanan yang bersifat masif dan pasti akan menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan itu sendiri. Dengan pengelolaan sampah selama ini maka pertanyaan sederhana yang selalu muncul, apakah yang didapat oleh rakyat dari prosen pengelolaan yang monopolisitk dan sntralistik?. Apakah kemudian rumah sakit, jalan, sekolah dan listrik yang ada dikawasan TPA secara matematis sama dengan hak-hak mereka untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat terampas sepanjang hidupnya bahkan mengancam masa anak cucu mereka?

2.2. Masalah Lokal

2.2.1. Sampah sumber bencana

Berdasarkan diskusi yang membahas permasalahan kebijakan pemerintah dan pengelolaan sampah di JABOTABEK, yang diselenggarakan di di WALHI Jakarta, ditemukan beberapa penyebab kegagalan dalam pengelolaan sampah yang berimplikasi kehancuran lingkungan hidup di JABOTABEK. Contoh kasus hubungan kausalitas probelm sampah dengan banjir, polusi udara dan krisis air bersih yaitu:
Dihadapkan pada berbagai permasalahan dengan menurunya kualitas lingkungan hidup akibat kesalahan dalam pengelolaan sampah, minimnya kesadaran masyarakat terhadap pengelalolaan dan pemanfaatan sampah, semakin tingginya limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri, pertanian dan limbah perkotaan, termasuk limbah rumah tangga, banjir, kekeringan dan minimnya lapangan kerja bagi masyarakat, serta kemiskinan. Akan tetapi disisi lain, ada sebagai warga menganggap bahwa sampah merupakan sumber kehidupan pada satu komunitas. Kurang leboh 6000 orang yang tinggal di sekitar TPA Bantar Gebang menggantungkan dirinya untuk hidup terhadap sampah.
Sampah tidak saja memberikan dampak negatif, tetapi juga mempunyai fungsi sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga dengan mendorong pada pengelolaan yang partisipatif dan berbasis lokal sampah tidak harus dimusnahkan akan tetapi bagaimana semua pihak yang berkepentingan terlibat dalam sebuah proses pemanfaatan dan pengelolaan sampah organik maupun anorganik, sampah industri maupun sampah rumah tangga.

2.2.2. konflik kepentingan

·         Konflik kepentingan antara masyarakat lokal dengan pihak swasta yang didukung oleh pemerintah setempat akibat ditetapkannya sebuah kawasan diperuntukkan sebagai TPA tidak terelakan. Hal ini terjadi karena pemerintah merasa berhak atas kawasan dan sebagai upaya untuk melayani masyarakat kota Jakarta yang menghasilkan sampah. Disisi lain warga penghasil sampah, beranggapan bahwa dengan membayar retribusi maka persoalan sampah telah ada yang menangani. Dan mereka tidak mau tau akan persoalan sampah.
·         Kasus penolakan dan tuntutan warga Bantar Gebang, Cilincing dan Bojong dalam konflik sampah karena keyakinan warga bahwa prosedur pengelolaan yang telah ditetapkan tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Bagi Masyarakat yang kawasannya dijadikan TPA mengklaim masyarakat hedonis-konsumeris mau enaknya saja sementara sisa dan bekasnya dibuang ke daerah mereka. Masyarakat korban meminta keadilan akan hak-haknya untuk mendapatkan lingkungan yang baik sehat.
·         Konflik di tingkat masyarakat yang masih terus berlangsung, namun di Pemerintahan/pemegang kebijakan saling berebut untuk menguasai demi kepentingan dan keuntungan pribadi, seperti konflik Pemerintah Kabupaten Bekasi dan DKI Jakarta yang mempersoalankan dana konpensasi. Konflik antara pemkab Bogor dan Pemprov DKI Jakarta karena Warga Bojong menolak kawasannya dijadikan TPST. Atau perseteruan antara Kemwentrian Lingkungan Hidup dengan Pemprov DKI dalam kasus ganti rugi biaya kerusakan lingkungan yang diminta oleh warga.


2.2.3. Banjir  dan penyakit melanda
  • Salah satu penyebab utama terjadinya banjir di kawasan Jabotabek disebabkan oleh pendangkalan pada 13 sungai di Jakarta yang diakibatkan oleh sampah.  Kurang lebih 15 %  dari 26.320 m3/ per hari sampah organic dan anorganik di DKI Jakarta tidak terangkut ke TPA. 15 % sampah tersebut berserakan di 13 sungai dan got-got atau selokan selokan. Sedangkan sampah yang mengedap di 13 sungai tersebut minimal 400 m3/per hari. Sehingga disaat musim hujan air tidak mendapatkan tempat dan menggenang dimana-mana. Akibatnya nyaris disetiap musim penghujan 80 % dari luas DKI Jakarta dan sekitarnya terendam air.
  • Selain banjir, secara bersamaan warga yang terkena bencana banjir terkena berbagai macam penyakit bahkan ancaman kematian bagi jiwa manusia sangat rentan terjadi

2.2.4. Krisis air bersih dan pencemaran bakteri ecoli
  • Menurunnya kualitas dan kuantitas air di 13 sungai di Jabotabek disebabkan oleh faktor sampah dan limbah domestik maupun limbah industri. Dengan menurunya kualitas dan kuantitas air di 13 sungai tersebut mnemberikan dampak pada kesulitan warga untuk mendapatkan air bersih. Hasil laporan BPLHD DKI Jakarta tahun 2003 menyebutkan bahwa : PDAM hanya mampu memberikan sambungan pipa kepada warga sebesar 45 %, dari jumlah ini hanya 15 % pelanggan mendapatan pelayanan secara baik. Artinya 85 % warga bergantung kepada air bawah tanah dimana kondisinya telah tercemar.
  • Akibat tingginya volume sampah baik sampah indutri maupun domestik menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan terutama kualitas air bawah tanah. Hasil penelitian BPLHD DKI Jakarta tahun 2000 yang menyatakan hampir 94% air bawah tanah telah tercemar bakteri ecoli  dan limbah kimia.
  • Selain pencemaran  dari sampah domestik, pola usaha industri juga menyumbang pencemaran karena tidal ada upaya meminimalisir pengeluaran Limbah erutam limbah B3.

2.2.5. Lemahnya Penegakan Hukum
·         Mandulnya  penyelesaian pelanggaran hukum yang dilakukan oleh  para Perusahaan – Perusahaan yang telah membuang sampah dan limbah di 13 sungai, merupakan bukti nyata ketidakberdayaan para aparat dalam menjalankan fungsinya. Tidak hanya gagalnya aparat penegak hukum dalam menyeret para pelanggar–pelanggar hukum tetapi juga karena perangkat hukum yang ada juga tidak mampu  menjerat para penjahat lingkungan.
·         Kekalahan setiap kasus lingkungan di pengadilan (Litigasi), mengakibatkan masyarakat memilih jalur lain dalam menyelesaikan konflik pencemaran lingkungan, sedangkan ekstra legal merupakan pilihan terakhir bagi rakyat untuk mencari keadilan dalam menyelesaian konflik. Namun demikian tidak sedikit juga bagi masyarakat menjadi apatis, karena ketidakmampuan untuk merubah keadaan.
·         Dari hasil kasus litigasi WALHI Jakarta, belum ada yang memuaskan. Meskipun menang dalam kasus Pencemaran Limbah B3 di Munjul pada tingkat pidana akan tetapi tidak menyelesaikan persoalan pencemaran karena pihak pencemar utamanya tidak terkena hukuman. Sehingga persoalan pencemaran terus berlangsung.
·         Industri – industri milik pemodal asing (PMA) yang berskala besar sangat sering berkonflik dengan rakyat setempat, karena terjadinya kebuntuan  komunikasi antara kedua pihak yang selama ini tidak coba untuk diciptakan, pihak – pihak yang harusnya berkompeten untuk menginisiasi ini justru selalu terlibat dalam kepentingan modal dan politis


2.2.6. Sampah bernilai ekonomi dan social
  • Hingga saat ini masih terbangun image dalam sebagian besar masyarakat perkotaan yang bergaya hedonis konsumerisme menganggap bahwa sampah merupakan barang bekas atau sisa yang harus disingkirkan dan dibuang. Sehingga kepedulian untuk meminimalisir dan memanfaatkan kembali sampah sangat tidak mungkin.
  • Pada sisi yang lain, ada sebagian masyarakat punya kepedulian untuk memanfaatkan kemabli barang bekas atau sisa untuk dimanfaatkan kembali. Bahkan kegiatan mengelola dan memanfaatkan sampah dijadikan sebagai sumber pendapatan ekonomi.

2.2.7. Kaum perempuan korban utama dalam problem pencemaran sampah
  • Selama ini yang lebih banyak mempunyai peran dalam pengelolaan rumah tanggah lebih dititik beratkan kepada kaum perempuan. Sehingga terbangun stigma bahwa kaum perempuanlah yang menyebabkan tingginya jumlah volume sampah. Padahal disisi lain belum ada format panduan penyadaran bagi para ibu rumah tangga untuk membeli produk yang ramah lingkungan dan memulai meminimalisir pengeluaran sampah.
  • Dalam setiap problem maupun konflik kepentingan maka kaum perempuan nyaris menjadi korban utama, terlebih dalam kasus pencemaran. Pada kasus pencemaran di Cilincing maupun Bantar Gebang, keluhan para ibu rumah paling dominan karena merekalah yang mengetahui kualitas dan kuantitas air bersih, pengaruh polusi udara terhadap anak-anak. Karena merekalah yang bersentuhan langsung dengan lingkunan yang tercemar tersebut.

2.2.8.     Pelanggaran Hak Asasi Manusia

·         Ketika melihat kondisi social masyarakat yang berada di Jakarta, bencana banjir, krisis air, polusi udara terjadi akibat terjadinya penumpukan sampah domestik sebesar 70 % dari seluruh sampah yang ada. Tetapi kondisi ini menjadi tidak adil bahwa ada industri pengeluar produk yang sarat dengan sampah yang tidak ramah lingkungan harus dibebankan kepada masyarakat. Padahal kegiatan industri merupakan pihak yang paling banyak mengeluarkan sampah bila ditelusuri lebih jauh.
·         Pengelolaan sampah yang monopolistic-sentralistik dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan tertutup di TPA-TPA, mengakibatkan terjadinya penyelewengan dan kesewenang-wenangan dari pihak pengelola. Lagi-lagi pihak pemodal dan aparat yang selalu berkolaborasi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Penumpukan sampah mengakibatkan beratus-ratus jiwa kehilangan hak-hak hidup sebagai layaknya manusia. (hilangnya lingkungan yang baik dan sehat,  tidak ada air bersih, udara bersih, ujung-ujungnya adalah kehidupan yang tidak sehat bahkan kematian).
·         Sedangkan dari beberapa kasus pemcemaran sampah yang ada, dapat dilihat terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan aparat penegak hukum, seperti kasus konflik antara wargo Bojong dengan PT. Wira Guna Sejahtera, ada 12 orang dijadikan tersangka dalam kasus penolakan warga atas keberadaan TPST di wilayah mereka. Padahal mereka hanya menuntut jaminan untuk mendapatkan kejelasan proyek dan menuntut lingkungan yang baik dan sehat. Karena mereka tidak mau dijadikan korban seperti kasus Bantar Gebang maupun Cilincing.


III.  TUJUAN

3.1. Tujuan Program

·         Meningkatkan mutu proses dan produk pengelolaan lingkungan hidup dalam program pemanfaatan dan pengelolaan sampah yang partisipatif, dengan tetap melakukan pemetaan masyarakat local sebagai wujud konsultasi publik di basis.

·         Membangun system perencanaan dan pengelolaan sampah oleh masyarakat local dalam kesatuan komunitas yang ditunjang oleh pengelolaan lingkungan social budaya setempat.  

·         Membangun budaya pengelolaan sampah yang partisipatif sebagai upaya untuk meminimlisir terjadinya berbagai bencana lingkungan yang lebih luas.

·         Membangun kelembagaan local sebagai suatu entitas social politik sehingga mampu menumbukkan dan mengembangkan rasa percaya diri dalam pengelolaan sampah partisipatif, serta memiliki tanggung jawab terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam pengelolaan sampah.

·         Mewujudkan kaukus tentang pengelolaan sampah di DPRD DKI sebagai wahana sharing dan mendiskusikan problem-probelem sampah perkotaan.


3.2. Hasil yang Diharapkan
·         Ada study tentang inventarisasi potensi wilayah dengan pendekatan kemampuan sumber daya lokal yang dijadikan dasar dalam menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan dan pemanfaatan sampah tingkat basis.
·         Lahirnya konsep perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan sampah yang partisipatif di 5 kelurahan di Jakarta sebagai model pemanfaatan dan pengelolaan sampah yang diintegrasikan dalam pendekatan potensi local.
·         Mengefektifkan Kebijakan Pemerintah dengan diakomodirnya konsep perencanaan yang disusun oleh rakayat,
·         Terintegrasinya keserasian lingkungan hidup dengan lingkungan sosial serta untuk menghindari konflik kepentingan pengelolaan lingkungan hidup
·         Lahirnya kelembagaan lokal yang mampu menjadi entitas sosial politik
·         Ada kebijakan pengelolaan sampah yang efektif dan partisipatif.
·         Lahirnya sebuah peraturan perundang-undangan yang mempu mengatur dan mengakomodir kepentingan warga secara partisipatif dan berdimensi kerakyatan.

IV. DESKRIPSI KEGIATAN

Partisipasi rakyat merupakan mekanisme yang memadukan aspirasi dari berbagai lapisan. Para perencana dan perangkat Pemerintah harus belajar dari rakyat, dan rakyat diberikan kesempatan untuk mengungkapkan aspirasinya serta mengambil bagian dan memberikan sumbangan dalam proses pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi pembangunan wilayahnya. Pengetahuan rakyat lokal dapat dikembangkan dalam betuk proyek atau program yang dapat mengurangi dampak negatif dan memelihara sumber daya manusia, sumber daya alam dan lingkungan hidup serta keuangan untuk jangka menengah maupun jangka panjang


  1. Investigasi dan pemetaan problem sampah di perkotaan (Jakarta, Bandung dan Surabaya)
  2. Pembuatan lembar fakta tentang pengelolaan sampah di perkotaan
  3. Workshop tentang managemen pengelolaan sampah yang mencakup 5 aspek 
  4. Pembuatan kertas posisi tentang penyelesaian problem sampah perkotaan
  5. Pilot Project pengelolaan sampah partisipatif berbasis masyarakat perkotaan
a.       Konsultasi publik
b.      Pemilihan lahan
c.       Peningkatan sumber daya manusia
d.      Penyelengaraan program
e.       Perawatan penyelengaraan program
  1. Dialog kebijakan (hearing, audiensi dll)
  2. Kampanye publik 
a.       talk show di radio
b.      Pembuatan poster, baliho, leaflet dll.
c.       Penerbitan majalah lingkungan bulanan
d.      Pembuatan buletin



4.1. Pertemuan kampung dan Mengembangkan Gagasan

Pertemuan ini bertujuan untuk membangun pemahaman bersama dan mempertajam gagasan perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan sampah. Pertemuan ini dilakukan secara paralel dengan Rukun Warga-Rukun Warga yang teridentifikasi di 5 Kelurahan Di DKI Jakarta dan sekitarnya. sehingga dapat mewakili masing-masing kotamadya di Jabotabek. Kegiatan ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik Focus Group Discution (FGD), dengan sasaran yang akan dicapai, sebagai berikut :
·         Membuat mekanisme konsultasi dan melembagakan proses pelibatan rakyat dalam pengelolaan dan pemanfatan sampah mereka,
·         Memberikan kesempatan untuk membagi ide/pendapat dan mempengaruhi keputusan,
·         Mengungkapkan pendapat dalam proses perencanaan dan pengelolaan sampah, serta kesempatan bagi para pembuat keputusan untuk mendapatkan kepercayaan dan membangun kredibilitas,
·         Mendapatkan informasi dari rakyat mengenai berbagai masalah, kepentingan, dan kemungkinan pemecahan masalah,
·         Peluang untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik sosial, dampak dari usulan kegiatan, dan meningkatkan efektifitas proyek dalam mencapai sasaran,
·         Meningkatkan koordinasi antar instansi dan sektor serta komunikasi ditingkat basis, pembuat keputusan dan dinas teknik.

Indikator keberhasilan


  • Ada proses konsultasi dan keterbukaan antara program officer dengan masyarakat local yang akan terliabt dalam kegiatan pengelolaan sampah
  • Ada data dan peta permasalah dalam pengelolaan sampah yang sedang berlangsung.
  • Ada data harapan dan kekahwatiran masyarakat terhadap massa depan pengelolaan sampah.
  • Ada komunikasi antar steakholder dalam pengelolaan sampah

4.2.       Menetapkan Sasaran Perencanaan

·        Menetapkan proses pembentukan kesepakatan warga dalam penyusunan perencanaan dan pengelolaan di tiap wilayahnya,
·        Menginventarisasi berbagai teknologi maupun pengelolaan sampah yang berbasik masyarakat local.
·        Menginventarisasi berbagai permasalahan dan kepentingan rakyat terhadap ketersediaan fasilitas pengelolaan sampah,
·        Merumuskan kembali permasalahan yang ada di tiap 5 kelurahan Jabotabek yang berkaitan dengan perencanaan pengelolaan sampah,
·        Hasil rumusan masalah perencanaan pengelolaan sampah dikembangkan kembali dengan memberikan pilihan-pilihan dalam perencanaan.


Institusi Pemerintah harus bersikap lebih tanggap terhadap pengetahuan dan kepentingan rakyat, termasuk keinginan menerima informasi yang tidak berpihak. Sangat diperlukan dalam berbagai tahapan di basis terutama mengenai komitmen dan keinginan yang tulus baik dalam mengkomunikasikan samua informasi kepada rakyat. Proses yang berkelanjutan dan bersifat interaktif merupakan suatu bagian dari proses yang memulai berkomunikasi dan koordinasi antar kelompok masyarakat, Pengambil keputusan dan Pejabat Teknis serta Pengusaha.

Proses ini harus diberikan kepada rakyat untuk terlibat di dalam perencanaan dan pengembangan wilayah mereka. Pejabat Tinggi Pemerintah mempunyai kesempatan untuk mendengar kenyataan dimasyarakat lokal sehingga pemerintah bisa mendapat kepercayaan dari rakyat.

Indikator keberhasilan
  • Ada kesepakatan dalam penyususn dan pengelolaan program pengelolaan sampah
  • Ada model berupa system dan teknologi pengelolaan sampah partisipatif
  • Ada data tentang permasalah dan failitas pengelolaan sampah
  • Ada kesepakatan dalam perumusan masalah dari 5 kelurahan

4.3.      Studi Inventarisasi Potensi Wilayah

·         Menggali pilihan sebanyak-banyaknya dalam perencanaan dan pengelolaan sampah dengan memadukan berbagai kepentingan dan kekuatan agar dapat dijamin keberhasilannya,
·         Menggali dan menghimpun penemuan fakta, melalui informasi berbagai pihak dan hasil analisis mengenai kondisi sumber-sumber sampah di Jabotabek baik pada lokasi yang belum terjadi penumpukan sampah yang berlebihan maupun pada lokasi-lokasi potensi akan menghasilkan sampah yang tinggi,
·         Membuat perbandingan bentuk-bentuk perencanaan rakyat dalam pengelolaan sampah yang selama ini dilakukan, dengan fakta yang ditemukan melalui informasi dan analisis,
·         Mencari potensi system pengelolaan sampah lainnya serta alternatif lain yang dapat dikembangkan untuk kepentingan bersama.

Tanggapan dari berbagai pihak dianalisis, dibuat prioritas dan dipadukan ke dalam Rencana Pengelolaan sampah di Jabotabek yang diikuti dengan perumusan strategi dan rencana tindak/aksi.

Indicator keberhasilan

  • Adanya data tentang lokasi tempat pengelolaan sampah
  • Ada data dan fakta tentang peluang dan tantangan dalam pemanfaatan lokasi pengelolaan sampah
  • Ada perbandingan perencanaan warga dalam pengelolaan sampah dengan fakta yang ditemukan.
  • Ada system pengelolaan sampah alternatif yang dikembangkan guna mengantisipasi ancaman.

4.4.      Membangun Kesepakatan

·         Merumuskan bentuk-bentuk Perencanaan pengelolaan sampah tanpa mengabaikan hak-hak dan kewajiban rakyat yang telah disepakati, baik oleh Rakyat, Pemerintah, Pengusaha maupun pihak-pihak yang terkait,
·         Merumuskan rencana usulan proyek/program untuk implementasi, meliputi :
Ø  Membuat batasan usulan dari hasil rumusan kesepakatan yang dibuat oleh warga untuk mengevaluasi perencanaan pada tahap implementasi,
Ø  Sistem pengelolaan sampah pada tahap implementasi, yaitu dibentuknya kelompok/organisasi rakyat yang mengawasi jalannya proyek/program dari usulan yang telah disepakati bersama,
Ø  Hasil kesepakatan yang dibuat warga berguna untuk menunjang Rencana pengelolaan sampah yang dirumuskan dalam kesepakatan pengelolaan lingkungan yang baik dan sehat.

Indikator keberhasilan
  • Ada rumusan perencanaan pengelolaan sampah yang tidak mengabaikan hak dan kewajiban warga dan semua steakholder
  • Ada usulan format kesepakatan untuk membuat evaluasi dalam pengimplementasian program
  • Ada komunitas/OR yang mampu mengawasi program pengelolaan sampah
  • Ada kesepakatan bersama untuk menunjang program pengelolaan sampah.

4.5. Terbentuknya Komunitas local yang mampu mengelola sampah

  • Membuat studi banding system pengelolaan sampah partisipatif di perkotaan.
  • Terbentuk sebuah model pengelolan yang partisipatif
  • Terbentuk komunitas pengelolaan sampah yang partisipatif dan berbasis masyarakat local.
  • Melakukan pelatihan pengelolaan sampah partisipatif yang mampu diterapkan di lingkungan dan berbasis masyarakat.
  • Mensosialisasikan hasil pengelolaan sampah partisipatif berbasis kerakyatakn yang dapat diterapkan didaerah lain.

Indikator keberhasilan


  • Terdapat system pengelolaan sampah partisipatif dan mampu dilakukan oleh masyarakat local
  • Masyarakat mampu memilah sampah organic anorganik ditingkat RT dan telah terpilah ditingkat kelurahan.
  • Terdapat 5 kelurahan pendampingan yang mampu mengelola sampah secara partisipatif
  • Terdapat 6 orang kader pengelolaan sampah partisipatif yang dapat mensosilaisasikan ke kelurahan lain.
  • Pada tahun pertama telah ada minimal 5 pilot projek pengelolaan sampah
  • Masyarakat binaan telah mampu mensosialisasikan system pengelolaan sampah partisipatif.

4.6        Tersosialisainya pengelolaan sampah yang partisipatif

  • Adanya proses kampaye tentang problematikan sampah dan memberikan solusi alternatif dalam pengelolaan dan pemanfaatannya.
  • Melakukan pendekatan terhadap media cetak atau elektronik untuk dapat terlibat dan memfasilitasi kampanye pengelolaan sampah secara partisipatif
  • Adanya proses pendidikan pengelolaan sampah yang aplikatif terhadap publik perkotaan.
  • Ada fasilias jaringan LAN yang memadai

Indikator keberhasilan
  • Ada lebar informasi tentang pengelolaan sampah partisipatif secara berkala
  • Telah ada 5 radio yang bisa diajak untuk dilibatkan dalam program pengurangan sampah di Jabotabek dari tingkat kebijakan hingga hal-hal teknis.
  • Telah ada 2 media cetak local yang dapat terliabt secara katif dalam mensosialisasikan pengeloaan sampah partisipatif.
  • Telah ada 1 media televisi yang dapat diliabtkan dalam program pengelolaan sampah partisipatif.
  • Adanya media pendidikan praktis berupa buku komik hingga film dokumenter tentang pengelolaan sampah partisipatif.
  • Ada website mengenai pengelolaan sampah yang partisipatif.

4.7. Membentuk kaukus tentang pengelolaan sampah yang partisipatif
·         Mengindentifikasi parpol/legiaslatif yang dapat terlibat dalam pengeloaan sampah perkotaan
·         Melakukan diskusi dan pelemperan ide-ide pengelolaan sampah yang partisipatif terhadap anggota legialatif dan publik.
·         Melakukan proses audiensi/loby untuk pemaparan ide/ gagasan pengelolaan sampah secara partisipatif.

Indikator keberhasilan
  • Ada diskusi tentang problem sampah per 4 bulan sekali
  • Ada media informasi (leaflet, bulletin, lembar informasi dll) 1 bulan sekali untuk dibagikan kepada amggota DPRD dan publik Jakarta.
  • Ada 10 orang anggota DPRD dari berbagai fraksi yang dapat mendukung aktivitas advokasi pengelolaan sampah.
  • Ada 5 perguruan tinggi yang dapat mendukung kegiatan advokasi pengelolaan sampah.
  • Ada 10 orang yang berkerja di Pemprov DKI Jakarta terliabt secara intent dalam kegiatan advokasi pengelolaan sampah partisipatif.
  • Ada 10 orang sebagai staff ahli/konsultan yang konsent terhadap kegiatan advoaksi pengelolaan sampah partisipatif.


Kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan sampah (organic dan anorganik) dilakukan secara bijaksana dan memperhatikan kepentingan warga, yang dalam kenyataanya selalu dalam posisi yang paling lemah dan tidak berdaya dalam menghadapi berbagai pihak yang mempunyai kekuatan dalam banyak hal.

V.  LOKASI KEGIATAN

Program ini akan mengambil wilayah spesifik, dimana daerah yang akan dijadikan sasaran riset antara lain Kelurahan Cilandak, Rawasari, Depok, Tanjung Barat, Cililitan, Cengkareng Timur, Lagua, Kampung Melayu, Pasar Rebo, Cilincing. Kegiatan riset pada 10 kelurahan ini dimaksudkan untuk meneliti dan mempertimabngkan potensi dan peluang untuk menjalankan program pengelolaan sampah partisipatif. Kemudian setelah melalui proses pengkajian lokasi program akan di perkecil menjadi 5 kelurahan yang mempunyai potensi dan peluang untuk menerapkan konsep pengelolaan sampah partisipatif.

Adapun pilihan mengapa hanya 10 kelurahan yang diambil, karena kesepuluh keluarahan ini merupakan wilayah advokasi WALHI DKI Jakarta yang sudah lama, dan merupakan daerah yang syarat dengan problem sampah. Dengan pertimbangan karakter fisik yang berbeda sehingga diharapkan nantinya dapat dijadikan model yang variatif dan adaptif sehingga dapat dikembangkan pada perencanaan seluruh pengelolaan sampah.

Secara implementatif program akan dilakukan di 5 kelurahan, dengan cakupan kegiatan tetap mempertimbangkan potensi local berupa pengelolaan tingkat RT, RW atau tersentral di kelurahan. Model dan system disesuaikan dengan kondisi geografi, budaya dan tingkat social masyarakat.

VI. RELEVANSI dan KEBERLANJUTAN

Program ini sangat dibutuhkan dan berkontribusi penuh terhadap hak-hak warga untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, dimana selama ini warga telah menyuarakan keinginannya untuk terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup secara partisipatif. Program ini sengaja dirancang untuk lebih mengintegrasikan isu pokok yang sangat mendasar ke dalam agenda besar perjuangan warga untuk mendapatkan kehidupan yang lebih manusiawi.

Program ini juga sangat memprioritaskan partisipasi perempuan baik secara kwantitas maupun kwalitas sehingga diharapkan menuju gender equality yang menjadi semangat atau ruh perjuangan pengelolaan sampah yang demokratis, berkelanjutan dan berkeadilan gender.

VII. MONITORING dan EVALUASI

Setiap tiga bulan, aktivitas akan dimonitor dan diskusikan dengan kelompok target untuk memperoleh respon terhadap program monitoring akan secara umum menggambarkan faktor keberhasilan dan kegagalan dalam implementasi, lesson learned dan refleksi terhadap implementasi.

Dalam laporan 6 bulanan akan mencatat permasalahan dari lapangan dan menjadi bahan diskusi untuk memperbaiki proses di lapangan. Di akhir proyek akan dilakukan evaluasi aksternal dan audit independen untuk mengevaluasi secara keseluruhan dari pelaksanaan proyek dalam jangka 3 tahun

VIII. PIHAK YANG AKAN MENGAMBIL MANFAAT

Kegiatan ini melibatkan secara langsung masyarakat kota yaitu kelurahan Cilandak, Rawasari, Depok, Tanjung Barat, Cililitan, Cengkareng Timur, Lagua, Kampung Melayu, Pasar Rebo, Cilincing.  Pihak-pihak yang akan terlibat dalam kegiatan ini adalah :
·        Rukun Warga-Rukun Warga yang dijadikan pilot projek di 5 kelurahan di Jabotabek.
·        Pemerintahan Daerah Propinsi DKI Jakarta sekitarnya, serta Dinas-dinas Kebersihan, kesehatan, Kimpraswil, pariwisata, Bapedalda, sebagai pihak pemerintah yang mempunyai tugas sejalan dengan kegiatan ini
·        Para pengusaha yang tergabung dalam Penanaman Modal pengelolaan sampah organic maupun anorganik.
·        Masyarakat korban TPA di sekitar kota Jakarta yang akan menerima manfaat langsung dari kegiatan ini sebagai basis masyarakakt korban (Petani dan masyarakat yang tinggal di pinggir kota) yang selama ini telah teroanisir dalam bentuk organisasi-organsisasi rakyat. Masyarakat ini mempunyai latar belakang konflik kepentingan untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, walaupun pihak yang mereka hadapi berbeda (pengusaha sampah dan Pemda setempat).
·        Sedangkan yang menjadi target group tidak langsung adalah semua komponen masyarakat yang terkena dampak kesalahan dalam pengelolaan sampah seperti korban banjir, krisis air bersih, polusi udara serta  organisasi rakyat di level Nasional/Internasional, Ornop yang selama ini bekerja bersama masyarakat korban,
·        Adapun manfaat program ini juga dapat membantu bagi pengembangan program bagi Ornop lain yang aktif melakukan kegiatan yang sama baik di tingkat lokal, Nasional dan Internasional ( JKPP, FAKTA, UPC, LBH Jakarta, dsb )

IX. PELAKSANA

Eksekutif Daerah WALHI DKI Jakarta, merupakan salah satu dari 25 forum otonom (tingkat Propinsi) WALHI yang aktif, sedangkan jumlah anggota  WALHI DKI Jakarta sebanyak 39 lembaga (Ornop, Pecinta Alam ) yang menyebar di Jabotabek.

WALHI DKI Jakarta  dikenal secara luas oleh publik baik di Daerah maupun Nasional sebagai Ornop yang konsisten dengan gerakan advokasi. WALHI DKI Jakarta juga dikenal reputasinya sebagai Ornop yang akuntabel dan profesional dalam pelaksanaan kegiatannya termasuk dalam masalah pengelolaan keuangan, terbukti dengan dipercayanya WALHI DKI Jakarta  sebagai pelaksana program di daerah oleh beberapa lembaga donor baik melalui kerja sama secara langsung maupun melalui Eksekutif Nasional WALHI dan beberapa jaringan/koalisi nasional.

Visi WALHI DKI Jakarta
Terwujudnya transformasi sosial menuju masyarakat demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat dalam pengelolaan lingkungan dan sumber–sumber kehidupan, keadilan dan keberlanjutan sistem kehidupan.

Misi WALHI DKI Jakarta
Menguatkan gerakan rakyat untuk mendesakkan dan mengontrol kebijakan pengelolaan lingkungan dan sumber–sumber kehidupan secara demokratis dan berkeadilan.

Staff WALHI Eksekutif  Daerah DKI Jakarta berjumlah 9 orang dengan managemen kerja secara profesional yang  berlandaskan nilai–nilai WALHI (demokratis, keadilan, kesetaraan gender dsb).

Mekanisme pelaksanaan kegiatan membangun mekanisme, proses dan studi perencanaan wilayah ini, Eksekutif Daerah WALHI DKI Jakarta akan berkoordinasi dengan anggota WALHI  dan Ornop lokal  (di lokasi program) untuk membantu melakukan aktivitas di tingkat basis.

WALHI DKI Jakarta aktif dalam kampanye di tingkat lokal sampai internasional, WALHI DKI Jakarta juga merupkan Ornop yang diakui oleh media Nasional sebagai organisasi lingkungan yang sangat dekat dengan rakyat, sehingga hal ini mendorong untuk tetap konsisten dalam melakukan advokasi lingkungan hidup dan membangun gerakan sosial di Indonesia.

X. WAKTU dan TEMPAT

Kegiatan ini akan dilaksanakan selama 36  bulan (Agustus 2006 – Juli 2009) dan kegiatan berada di Jakarta yang mengambil lokasi di 5 kelurahan di Jabodetabek.
Jadwal kegiatan terlampir.

IX. BIAYA/ANGGARAN

Kegiatan dibagi atas 3 tahapan, yaitu pertama melakukan penggalian gagasan proses perencanaan dan pengelolaan sampah, serta melakukan studi pengelolaan sampah dengan pemetaan partisiptif dalam penyatuan pemahaman masalah hingga membuat kesepakatan sosial dalam perencanaan pengelolaan sampah. Kedua, proses sosialisasi dan konsolidasi hasil-hasil tahap pertama, baik di tingkat lokal maupun regional. Secara paralel dilakukan penguatan organisasi rakyat dengan berbagai pelatihan dan penyempurnaan konsep perencanaan tata ruang rakyat. Ketiga, proses pengeimplementasian dan kampanye keberbagai pihak untuk mencari dukungan serta mempercepat proses. Total dana yang dibutuhkan secesar Rp…………………(rincian terlampir)






























Kegiatan advokasi penolakan sampah di Bojong telah memasuki tahun ke-2. Berbagai usaha telah dilakukan oleh masyarakat Bojong dan sekitarnya  akan tetapi hasil yang didapat belum seperti yang diharapkan warga. Justru sebaliknya keterlibatan aparat dalam proyek tersebut semakin menyudutkan posisi warga untuk mendapatkan hak-haknya.

Secara bersamaan, mayoritas warga belum memahami apa dampak sampah yang tidak dikelola secara benar dan bagaimana cara mengatasinya. Juga sikap apatis warga terhadap problem sampah semakin membuat perusahaan penghasil limbah bertindak sewenang-wenang. Dengan kondisi seperti ini, warga akan semakin sulit untuk memperoleh hak-haknya terhadap lingkungan yang baik dan sehat dan semakin langka untuk mendapatkan kanyamanan dan ketentraman hidup.


Membangun pondasi perubahan kebijakan agar perusahaan penghasil sampah dan atau limbah agar ditindak belum cukup dengan pendekatan legal formal di meja peradilan. Semakin semrawutnya supremasi hukum terutama hukum lingkungan di Indonesia adalah alasan kuat untuk melakukan kegiatan advokasi pencemaran sampah dengan pendekatan non-litigasi.

Penguatan pemahaman dan pembelaan atas ancaman masa depan dan keberlanjutan lingkungan hidup tidak cukup dengan hanya dibebankan kepada para pencinta lingkungan. Sudah saatnya warga sebagai bagian dari civil society harus terlibat langsung dalam gerakan untuk membangun kesadaran bersama. Sehingga warga sendiri mampu menganalisa, merenungkan dan melakukan gerakan yang lahir dari kesadaran dari diri masing-masing. Sehingga diharapkan pada kondisi dan situasi kehidupan yang semakin tidak menentu seperti saat ini, warga akan mampu memberikan pilihan dan jalan terbaik yang akan mereka pilih. 

.


Tidak ada komentar: