Dunia ini tercipta melalui mimpi-mimpi. Khayalan dari polarisasi
keseharian, pengalaman, observasi, cerita, berita, renungan, atau
sekedar obrolan lalu lalang yang kemudian ditafsirkan bermacam-macam.
Energi yang mengalir dalam imaji itu membuat nafsu ingin sekali merebut
bayangan dalam dirinya, menuangkannya, dan mencapainya untuk kemudian
memunculkan mimpi-mimpi baru.
Suatu malam ditengah sabana Granada, sang penggembala bermimpi dalam
tidurnya di sebuah pondokan; Mesir, negeri nan jauh di Timur akan
membawa pencerahan dan perubahan dalam hidupnya.
Lalu, hijrah dilakukan. Perjalanan panjang ditempuh. Pelajaran hidup
digali dalam epos cerita yang berliku. Ia menuju kegelisahan itu, dengan
beban kegagalan dan harapan kosong. Namun, suatu gerak harus disusun
untuk maju melangkah. Apakah kemudian ia dapatkan impian itu?
Paulo Coelho mengakhirinya dengan manis dalam The alchemist. Sang
penggembala menemukan harta karun di bawah pohon beringin tua dalam
pondokan itu, setelah perjalanan jauhnya dan rangkaian tanda alam ia
serap dalam-dalam. Petunjuk diuntai dengan kesabaran, ikhtiar dijabarkan
dalam tindakan nyata dan konsisten, dan doa dilantunkan bersamaan kaki
menjejak bumi demi perubahan.
Mimpi juga melahirkan utopia, atau utopia adalah mimpi itu sendiri. Karl
Marx dan Engel mengusung gerakan proletariat untuk persamaan dalam
hidup. Tak ada kelas, tak ada perbudakan, tanpa penindasan dan alienasi,
tanpa negara, dan juga tanpa agama. Juga, Thomas More menggambarkannya
dalam sebuah negeri yang sama dan rata. Memakai pakaian yang sama,
tinggal dalam rumah denga bentuk, luas tanah yang tak berbeda. Lalu
bekerja bergantian sesuai dengan waktu yang ditentukan. Semua tanpa
pemilikan. Semua bergantian.
Lalu, Liberalisme, dengan ruang sebebas itu menyuburkan kapitalisme dan
individualisme. Alih-alih membawa manusia dalam sejahtera dan damai,
dalam kompetisi global yang brutal mereka justru mengekploitasi dan
menindas. Kapitalisme sendiri menggilas ruang-ruang sunyi. Ruang itu
milik petani dan buruh pekerja, termasuk juga anak-anak miskin dalam
dunia pendidikan, orang-orang jompo, pengganggur, gelandangan, jambret,
mahasiswa kere, kuli-kuli, dll. Mimpi dalam liberalisme hancur berkeping
oleh sejarahnya sendiri.
Seni adalah monumen kemenangan manusia dalam menjawab hidup. Pergulatan
hidup harus dipandang sebagai usaha untuk menciptakan keindahan.
Demikian Nietzsche merumuskan pandangan filsafatnya. Hanya Ubermench,
yang pantas menang dalam pergulatan besar dunia. Atau sebuah kebetulan
juga bahwa Tuhan sendiri adalah seniman, yang merancang seluruh kosmos
dalam tatanan yang sempurna.
Ah, aku sendiri bermimpi. Tapi tak semuluk itu semua. Aku bermimpi
bersenggama malam tadi. Dan itu sudah cukup membuat tertegun lama saat
tersadar. Ya Tuhan, masi mimpi, di umur yang kian uzur. Heheheee…
Tetapi, demokrasi tetap memberi pilihan; mau hidup atau sekarat. Hidup
berarti berkelindan dengan pragmatisme dan yang sejenisnya….. atau bisa
juga, hidup dalam ide dan mimpi-mimpi yang ‘menggelisahkan’ itu.
Keduanya sama-sama hidup, dan sama-sama cari makan. Sama-sama buat
karya. Juga sama-sama ibadah. Tapi saya tidak tau yang mana yang masuk
akal dan hati. Sepertinya agama sendiri juga bilang;
“Allah mengangkat derajat orang-orang yang berjuang dengan harta dan jiwanya ketimbang orang-orang yang diam” (An-Nisa’: 90)
Kalau yang sekarat, berarti mereka yang diam-diam saja, tak berbuat
apapun, seringnya malah menggunjing yang diperbuat orang lain. Sungguh
luar biasa tercelanya.
25 tahun RANITA, juga angan saat mencoba tumbuh. Dan barangkali masih
menjadi angan untuk mencoba berkembang lebih besar. Tetap ihtiar.
Wallahu a’lam bissowaab…www.ranita.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar