Pages

Sabtu, 05 November 2011

MIMPI

Dunia ini tercipta melalui mimpi-mimpi. Khayalan dari polarisasi keseharian, pengalaman, observasi, cerita, berita, renungan, atau sekedar obrolan lalu lalang yang kemudian ditafsirkan bermacam-macam. Energi yang mengalir dalam imaji itu membuat nafsu ingin sekali merebut bayangan dalam dirinya, menuangkannya, dan mencapainya untuk kemudian memunculkan mimpi-mimpi baru.

Suatu malam ditengah sabana Granada, sang penggembala bermimpi dalam tidurnya di sebuah pondokan; Mesir, negeri nan jauh di Timur akan membawa pencerahan dan perubahan dalam hidupnya.
Lalu, hijrah dilakukan. Perjalanan panjang ditempuh. Pelajaran hidup digali dalam epos cerita yang berliku. Ia menuju kegelisahan itu, dengan beban kegagalan dan harapan kosong. Namun, suatu gerak harus disusun untuk maju melangkah. Apakah kemudian ia dapatkan impian itu?

Paulo Coelho mengakhirinya dengan manis dalam The alchemist. Sang penggembala menemukan harta karun di bawah pohon beringin tua dalam pondokan itu, setelah perjalanan jauhnya dan rangkaian tanda alam ia serap dalam-dalam. Petunjuk diuntai dengan kesabaran, ikhtiar dijabarkan dalam tindakan nyata dan konsisten, dan doa dilantunkan bersamaan kaki menjejak bumi demi perubahan.

Mimpi juga melahirkan utopia, atau utopia adalah mimpi itu sendiri. Karl Marx dan Engel mengusung gerakan proletariat untuk persamaan dalam hidup. Tak ada kelas, tak ada perbudakan, tanpa penindasan dan alienasi, tanpa negara, dan juga tanpa agama. Juga, Thomas More menggambarkannya dalam sebuah negeri yang sama dan rata. Memakai pakaian yang sama, tinggal dalam rumah denga bentuk, luas tanah yang tak berbeda. Lalu bekerja bergantian sesuai dengan waktu yang ditentukan. Semua tanpa pemilikan. Semua bergantian.

Lalu, Liberalisme, dengan ruang sebebas itu menyuburkan kapitalisme dan individualisme. Alih-alih membawa manusia dalam sejahtera dan damai, dalam kompetisi global yang brutal mereka justru mengekploitasi dan menindas. Kapitalisme sendiri menggilas ruang-ruang sunyi. Ruang itu milik petani dan buruh pekerja, termasuk juga anak-anak miskin dalam dunia pendidikan, orang-orang jompo, pengganggur, gelandangan, jambret, mahasiswa kere, kuli-kuli, dll. Mimpi dalam liberalisme hancur berkeping oleh sejarahnya sendiri.

Seni adalah monumen kemenangan manusia dalam menjawab hidup. Pergulatan hidup harus dipandang sebagai usaha untuk menciptakan keindahan. Demikian Nietzsche merumuskan pandangan filsafatnya. Hanya Ubermench, yang pantas menang dalam pergulatan besar dunia. Atau sebuah kebetulan juga bahwa Tuhan sendiri adalah seniman, yang merancang seluruh kosmos dalam tatanan yang sempurna.

Mimpi, mereka semua bermimpi. Bahkan Isra’ Mi’raj pun dilakukan di malam hari. Dalam mimpi seorang nabi. Jiwanya melanglang buana menuju sang Khalik untuk menjemput titah dari langit.

Ah, aku sendiri bermimpi. Tapi tak semuluk itu semua. Aku bermimpi bersenggama malam tadi. Dan itu sudah cukup membuat tertegun lama saat tersadar. Ya Tuhan, masi mimpi, di umur yang kian uzur. Heheheee…

Tetapi, demokrasi tetap memberi pilihan; mau hidup atau sekarat. Hidup berarti berkelindan dengan pragmatisme dan yang sejenisnya….. atau bisa juga, hidup dalam ide dan mimpi-mimpi yang ‘menggelisahkan’ itu. Keduanya sama-sama hidup, dan sama-sama cari makan. Sama-sama buat karya. Juga sama-sama ibadah. Tapi saya tidak tau yang mana yang masuk akal dan hati. Sepertinya agama sendiri juga bilang;

“Allah mengangkat derajat orang-orang yang berjuang dengan harta dan jiwanya ketimbang orang-orang yang diam” (An-Nisa’: 90)
Kalau yang sekarat, berarti mereka yang diam-diam saja, tak berbuat apapun, seringnya malah menggunjing yang diperbuat orang lain. Sungguh luar biasa tercelanya.
25 tahun RANITA, juga angan saat mencoba tumbuh. Dan barangkali masih menjadi angan untuk mencoba berkembang lebih besar. Tetap ihtiar.
Wallahu a’lam bissowaab…www.ranita.or.id

Tidak ada komentar: