BADAN GEOLOGI
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
JANUARI 2006
I.
Latar Belakang
1.
Berdasarkan
geografi dan tektoniknya, Indonesia terletak diantara 3 lempeng yaitu Lempeng
Benua Asia Eropa, Lempeng Samudra Hindia, dan Lempeng Samudra Fasific. Ketiga
lempeng tersebut saling bertumbukan satu dengan yang lain yaitu Lempeng Samudra
Hindia bertumbukan dengan Lempeng Asia Eropa dengan pergerakan 6 cm/tahun,
selain itu Lempeng Pasifik bertumbukan dengan Lempeng Asia Eropa.
Pertumbukan-pertumbukan di daerah Indonesia menyebabkan terbentuknya bentuk
morfologi pulau-pulau dan perbukitan gunungapi, pegunungan yang juga merupakan
sumber daya geologi seperti antara lain
mempunyai potensi mineral-mineral dan bahan tambang lainnya, serta
sebagai potensi wisata yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Namun di lain
fihak wilayah tertentu juga merupakan daerah potensi bencana geologi seperti
letusan gunungapi, gerakan tanah, gempabumi, tsunami dan lain-lain.
2.
Amanat Undang-undang
Dasar 1945 (amandemen ke 2) Pasal
28G, ayat 1: ”Setiap orang berhak
atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang dibawah kekuasaannya, serta berhak rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi”. Dapat ditafsirkan bahwa, yang
dimaksud dengan perlindungan serta ancaman ketakutan antara lain terhadap
bencana kebumian.
3.
Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 3 tahun 2001,
tentang keanggotaan BAKORNAS PBP.
4.
Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000, Bab II,
Pasal 2 ayat 3 angka 3, bidang ESDM:
c. Penetapan standar pemantauan dan penyelidikan bencana alam geologi.
g. Pengaturan survey dasar geologi dan air bawah tanah skala lebih kecil
atau sama dengan 1:250.000, penyusunan peta tematis dan inventarisasi sumber
daya mineral dan energi serta mitigasi bencana geologi.
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 165 tahun 2000,
Bagian Ketujuh, DESDM, pasal 20:
Huruf h: Penanggulangan bencana berskala nasional di bidangnya.
Huruf n :
Pengaturan survey dasar geologi dan air bawah tanah skala lebih kecil atau sama
dengan 1:250.000, penyusunan peta tematis dan inventarisasi sumber daya mineral
dan energi serta mitigasi bencana
geologi.
6.
Peraturan Menteri ESDM nomor 0030, tahun 2005, tentang organisasi dan tata kerja di DESDM.
Bahwa, Badan Geologi melakukan pelayanan
di bidang vulkanologi dan mitigasi bencana geologi serta pemberian rekomendasi yang
secara teknis operational dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi (PVMBG).
II. Strategi Mitigasi
Bencana Geologi
Program
mitigasi bencana geologis (kebumian), bagi Dept. Energi dan Sumber Daya
Mineral sebagai bagian kewajiban
pemerintah dalam perlindungan pada masyarakat terhadap ancaman bencana kebumian
(merupakan hak asasi manusia) di seluruh Indonesia, secara teknis operasional dilaksanakan
oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Paradigma
mitigasi bencana kebumian harus memandang bahwa dinamika kebumian destruktif (letusan
gunungapi, gerakan tanah, gempabumi) sebagai fenomena yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia serta lingkungannya dan
tidak selalu mengakibatkan bencana. Paradigma ini mempermasalahkan tingginya
faktor kerentanan suatu wilayah terhadap terjadinya dinamika tersebut dan
kemampuan masyarakat mengantisipasi ancaman kemungkinan terjadinya
bencana. Oleh karena itu, strategi
mitigasi difokuskan pada rangkaian kegiatan pemetaan daerah rawan bencana,
pemantauan aktivitas dinamika geologis hingga peringatan dini, tanggap darurat di daerah bencana, dan
sosialisasi hasil kegiatan mitigasi, dengan menggunakan skala prioritas
berdasarkan sumberdaya yang tersedia (SDM, dana, dan peralatan) serta melibatkan
peran aktif masyarakat dan Pemerintah Daerah. Teknologi yang canggih, serta
dukungan dana yang memadai menjadi sia-sia, tanpa peran serta secara aktif
masyarakat dan Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, mitigasi bencana kebumian
diprioritaskan pada daerah/wilayah yang mempunyai tingkat kerentanan dinamika kebumian
destruktif yang tinggi, padat penduduk serta terdapat sarana dan prasarana
vital dan strategis (secara ekonomi dan jasa).
Tujuan
mitigasi bencana kebumian adalah memperkecil hingga meniadakan jumlah korban
serta memberikan rasa aman kepada masyarakat dalam pencapaian kesejahteraannya,
terhadap ancaman bencana kebumian/geologis.
III.
Gunungapi
Indonesia memiliki 129 gunungapi atau sekitar 13%
gunungapi di dunia terdapat di negara kita. Dengan
konsentrasi pemukiman dan aktivitas penduduknya, jika terjadi letusan gunungapi
di Indonesia
beresiko besar menyebabkan terjadi bencana.
Pemantauan dan Peringatan Dini Aktivitas Gunungapi
Dari 129
gununungapi aktif, 80 diantaranya diklasifikasikan sangat aktif, hingga saat
ini baru 62 gunungapi aktif mempunyai Pos Pengamatan Gunungapi (PGA) dan
dipantau secara menerus melalui PGA masing-masing. Jenis pemantauan meliputi:
gempabumi dan tremor gunungapi (menerus), temperatur kawah (secara episodik),
pemeriksaan kondisi kawah (episodik), dan deformasi (episodik). Tujuan dari
pemantauan ini adalah untuk mengetahui tingkat kegiatan gunungapi secara dini,
agar dapat dilakukan antisipasi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya
letusan. Hasil pemantauan diinformasikan dalam bentuk laporan mingguan dan
bulanan kepada Pemerintah Daerah di sekitar gunungapi yang di pantau. Laporan
tersebut berisikan tentang tingkat
kegiatan gunungapi dan saran tindak
kepada Pemerintah Daerah setempat kaitannya dengan kesiapsiagaan
masyarakat terhadap kemungkinan
terjadinya letusan.
Hasil pemantauan berupa status tingkat
kegiatan, juga sekaligus merupakan peringatan dini bagi masyarakat di
sekitar gunungapi.
Yang
dimaksud dengan tingkat kegiatan gunungapi adalah;
1.
Aktif Normal (Level I )
2.
Waspada (Level
II)
3.
Siaga (Level III)
4.
Awas (Level IV)
Kriteria tingkat kegiatan gunungapi Indonesia adalah sebagai berikut;
1. Aktif Normal (Level
I)
Kegiatan gunungapi dalam keadaan normal dan tidak memperlihatkan adanya
peningkatan kegiatan berdasarkan ahsil pengamatan secara visual, maupun hasil
penelitian secara instrumental. Masyarakat dapat bekerja sebagimana biasanya.
2. Waspada (Level II)
Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang teramati secara
visual dan atau secara instrumental. Masyarakat diminta meningkatkan
kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya peningkatan kondisi gunungapi.
3. Siaga (Level III)
Peningkatan kegiatan semakin nyata, yang teramati secara visual dan
atau secara instrumental serta berdasarkan analisis perubahan kegiatan tersebut
cenderung diikuti letusan/ erupsi. Masyarakat diminta bersiap untuk mengungsi.
4.
Awas (Level IV)
Peningkatan kegiatan gunungapi mendekati/ menjelang letusan utama yang
diawali oleh letusan abu/ asap. Masyarakat di kawasan yang terancam sudah harus
mengungsi.
Sedangkan
kewenangan menetukan tingkat perubahan, adalah sebagai berikut:
1. Tingkat perubahan dari Aktif Normal (Tingkat I) ke Waspada (Tingkat II)
atau sebaliknya diputuskan oleh Kepala Seksi
gunungapi yang bersangkutan.
2. Perubahan tingkat kegiatan dari Waspada (Tingkat II) ke Siaga (Tingkat
III) atau sebaliknya diputuskan oleh Kepala Sub Direktorat Pengamatan
Gunungapi/Kepala Balai Pengembangan Tenologi Kegunungapian dan melaporkan
kepada Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi serta ke Kepala
Badan Geologi.
3. Perubahan tingkat kegiatan dari Siaga (Tingkat III) ke Awas (Tingkat
IV) atau sebaliknya diputuskan oleh Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi dan melaporkan perubahan tersebut kepada Kepala Badan Geologi.
4. Dalam keadaan darurat, pengamat gunungapi dapat memutuskan langsung
perubahan status kegiatan.
5. Peningkatan/penurunan tingkat kegiatan tidak selalu bertahap. Sistem
pelaporan dan peringatan dini gunungapi dituangkan dalam suatu Prosedur Tetap
(Protap).
Semua
gunungapi aktif di Indonesia
telah memiliki Pos PGA dan dipantau secara menerus, karena di sekitar gunungapi
aktif tersebut tingkat huniannya padat, beberapa tempat terdapat sarana dan
prasarana vital dan strategis. Dengan
dibangunnya Pos-pos PGA dan pemantauan menerus nampak bahwa korban jiwa akibat
letusan gunungapi dari tahun ke tahun menurun tetapi jumlah pengungsi makin
meningkat.
Pemetaan Kawasan Rawan Bencana
Pemetaan
ini bertujuan mengklasifikasikan daerah sekitar gunungapi terhadap tingkat
landaan bahaya terhadap produk letusan gunungapi. Peta Kawasan Rawan Bencana
(KRB) gunungapi berdasarkan sebaran produk letusan sebelumnya, kondisi geologi,
morfologi, dan sejarah letusan. KRB dibagi menjadi 3 bagian:
KRB I, adalah
kawasan yang berpotensi terlanda lahar/banjir dan tidak tertutup kemungkinan
terkena perluasan awan panas dan aliran lava. Jika letusan membesar, kawasan
ini berpotensi tertimpa material jatuhan berupa hujan abu lebat dan lontaran
batu pijar.
KRB II, berpotensi terlanda awan
panas, aliran lava, lontara atau guguran batu pijar, hujan abu lebat, hujan
lumpur (panas), aliran lahar dan gas beracun.
KRB III, sering terlanda awan panas,
aliran lav, lontara atau guguran batu pijar, dan gas beracun. Tidak
diperkenankan untuk hunian dan aktifitas apapun, daerah dinyatakan tidak layak
huni oleh Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota atas saran dari PVMBG.
Tanggap
darurat
Kegiatan para ahli gunungapi melakukan pemantauan di
lapangan pada saat terjadi letusan, hasilnya berupa rekomendasi teknis tentang
penanggulangan (pengungsian, relokasi, penentuan status kegiatan), kepada
masyarakat dan kepada Pemerintah Daerah.
Sosialisasi
Produk mitigasi di suatu gunungapi disosialisasikan
kepada masyarakat di sekitar gunungapi bersama-sama aparat Pemerintah Daerah
guna meningkatkan kewaspadaan masyarakat, tata cara penanggulangan bencana, dan
mitigasi letusan gunungapi.
IV.
Gerakan Tanah/Tanah Longsor
Bencana gerakan tanah/tanah longsor sering terjadi di
Indonesia, paling banyak kejadiannya dan korbannya adalah di Wilayah Propinsi
Jawa Barat. Penyebab terjadinya gerakan tanah diakibatkan
dinamika geologi, ulah manusia, dan atau keduanya, dalam beberapa kasus, kedua penyebab sama
besar perannya.
Pemantauan dan Peringatan Dini
Pemantauan
gerakan tanah difokuskan di daerah vital dan strategis baik jasa maupun
ekonomi. Pemantauan dilakukan dengan pengukuran laju gerakan tanah menggunakan
GPS (Global Positioning System).
Pemantauan ini bekerjasama dengan Jurusan Geodesi ITB. Lokasi
penyelidikan antara lain jalur jalan Bandung – Jakarta (Ciloto, Megamendung, dan Cipatat), jalur jalan Bandung – Yogyakarta (Wangon dan Lumbir), jalur jalan Bandung – Cirebon
di sekitar Tomo.
Pemantauan
ini bertujuan untuk mengetahui laju gerakan tanah dalam kurun waktu tertentu,
jika laju tersebut melebihi ambang yang ditentukan, akan segera diberitahukan
kepada Pemerintah Daerah setempat untuk melakukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memperkecil dampak yang mungkin ditimbulkan.
Peringatan
Dini gerakan tanah didapat dari mosaik Peta Kerentanan Gerakan Tanah dan Peta
Curah Hujan, diperoleh wilayah yang berpotensi terjadi gerakan tanah. Hasil ini
disebarluaskan ke Pemerintah Daerah. Overlay antara Prakiraan Curah Hujan
dengan titik-titik rawan longsor pada jalur jalan utama dan alternatif,
diketahui jika jalur jalan rawan longsor, yang disebarluaskan pada saat hari
besar keagamaan, dimana masyarakat melakukan perjalanan mudik.
Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah
Pemetaan
ini bertujuan untuk menentukan tingkat kerentanan suatu zona/wilayah terjadi
gerakan tanah. Parameter guna menetukan tingkat kerentanan tersebut adalah
kondisi geologi (jenis dan sifat batuan), kemiringan lereng, sifat mekanika
tanah/batuan, tata guna lahan, keairan, kerapatan kejadian gerakan tanah (yang
pernah terjadi), sesar dan kekar, kegempaan, dan sifat hujan rata-rata tahunan,
kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak. Hasil Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah
dikelompokan menjadi 4 zona yaitu:
Zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah artinya gerakan tanah sangat jarang atau tidak pernah terjadi, baik
gerakan tanah lama maupun baru, kecualii pada daerah yang tidak begitu luas
pada tebing sungai.
Zona kerentanan gerakan tanah rendah artinya gerakan tanah jarang terjadi, jika tidak mengalami gangguan
pada lereng. Gerakan tanah berdimensi kecil dapat terjadi terutama pada tebing
sungai.
Zona kerentanan gerakan tanah menengah artinya gerakan tanah dapat terjadi terutama pada daerah yang
berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan, atau jika lereng
mengalami gangguan. Gerakan tanah lama dapat aktif kembali akibat dari curah
hujan yang tinggi.
Zona kerentanan gerakan tanah tinggi artinya gerakan tanah sering terjadi, sedangkan gerakan tanah lama dan
baru masih aktif bergerak akibat curah hujan yang tinggi dan erosi yang kuat.
PVMBG mempunyai kewenangan melakukan Pemetaan Zona
Kerentanan Gerakan Tanah dengan skala 1:250.000 dan 1:100.000. Peta ini dapat digunakan sebagai data dasar oleh Pemerintah
Propinsi/Kabupaten/Kota untuk pembuatan peta dengan skala lebih rinci atau
sebagai bahan pertimbangan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Sesuai dengan
dengan Kepmen Dagri Nomor 131 tahun 2003 tetang Pedoman Penanggulangan Bencana
dan Penanganan Pengungsi, yang menyatakan bahwa setiap Pemerintah Daerah mempunyai
peta rawan bencana, maka PVMBG menyusun Standard Nasional Indonesia (SNI) tetang
Tata Cara Pemetaan Zona Kerentanan
Gerakan Tanah. Tujuan dari SNI ini adalah agar semua pihak yang berkompeten
dapat melakukan Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah dengan cara yang baik
dan benar dan berhasil guna tinggi.
Pemetaan
diprioritaskan di wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi, terdapat
sarana dan prasarana vital dan strategis, dan rawan/sering terjadi gerakan
tanah. Pulau Jawa telah selesai dipetakan, beberapa daerah luar jawa dipilih
berdasarkan skala prioritas baik secara teknis maupun alasan sosio ekonomi.
Tanggap Darurat
Jika
terjadi bencana gerakan tanah/tanah longsor menjadi pemberitaan nasional dan
regional, tidak dapat diatasi oleh Pemerintah Daerah, maka PVMBG melakukan
tanggap darurat. Tanggap darurat tersebut melakukan program aksi pengukuran
dimensi longsoran, melakukan pemeriksaan kondisi geologi, keairan, dan
pengukuran geofisika yang diperlukan. Hasil tanggap darurat antara lain
menjelaskan mekanisme terjadinya gerakan tanah hingga tata cara
penanggulangannya. Laporan tanggap darurat disusun secara cepat (sering dibuat
di lapangan), disosialisasikan langsung kepada masyarakat terlanda bencana dan
kepada Pemerintah Daerah guna penaggulangan bencana. Jika lokasi bencana secara
teknis dinyatakan tidak layak huni, maka PVMBG membantu Pemerintah Daerah
mencarikan lokasi yang aman bagi permukiman.
V. Gempabumi
Mayoritas
kejadian gempabumi di Indonesia berpusat di lepas pantai/laut, beberapa
kejadian di darat dengan magnitida berkisar 4 hingga 5 banyak mengakibatkan
korban, terutama terhadap bangunan permukiman dan banguan lainnya. Berdasarkan
hasil pengamatan ke beberapa daerah bencana gempabumi teramati bahwa kerusakan
bangunan permukiman serta sarana dan prasarana lainnya karena tidak dibangun
dengan mengikuti kaidah bangunan tahan goncangan gempabumi.
Pemantauan
Pemantauan
difokuskan pada pemantauan sesar aktif dengan menggunakan cara geofisika antara
lain: seismik (aktifitas sesar), magnetik dan gayaberat (keberadaan sesar
aktif). Maksud dan tujuan pemantaun ini adalah untuk mengumpulkan data sebaran
sesar aktif dan mengetahui lebih rinci tentang sebaran, dimensi serta model
sesar aktif.
PVMBG
tidak melakukan pemantuan gempabumi dengan tujuan menentukan posisi sumber
gempabumi (setiap kejadian), tugas ini telah dilakukan oleh Badan Meteorologi
dan Geofisika, PVMBG lebih menfokuskan ke mitigasi.
Pemetaan
Pemetaan
yang dimaksud adalah kegiatan pengumpulan data geologi (morfologi, litologi,
struktur), percepatan gempabumi (sebagian dilakukan estimasi sendiri
menggunakan perumusan empiris yang telah ada), sejarah kegempaan (intensitas
dan magnitud), sebaran episentrum serta kedalaman sumber gempabumi. Hasil
pemetaan ini adalah zona rawan gempabumi, terutama gempabumi yang mempunyai
sejarah bersifat merusak/mengakibatkan korban jiwa, harta benda dan merusak
lingkungan. Hingga saat ini PVMBG baru
menghasilkan peta wilayah rawan gempabumi dan tsunami di Indonesia.
Dibawah ini disajikan peta wilayah rawan gempabumi di Indinesia.
Peta wilayah rawan gempabumi Indonesia (DVMBG, 2004, angka tahun
dalam peta menunjukan waktu kejadian gempabumi merusak).
Peta wilayah rawan tsunami Indonesia (DVMBG, 2005).
Tanggap Darurat
Tanggap
darurat dilakukan jika terjadi bencana gempabumi dimana Pemerintah Daerah tidak
dapat/kesulitan dalam penanggulangannya serta terjadi kepanikan/rasa takut pada
masyarakat. Tindakan tim tanggap darurat di lokasi bencana antara lain
inventarisasi kerusakan bangunan serta sarana dan prasarana (termasuk
penyebabnya), kerusakan lingkungan (liquefaction, retakan tanah, dan longsor),
pembuatan peta intensitas kerusakan (dalam MMI), dengan tujuan memberikan
rekomendasi teknis penanggulangan serta memberikan rasa aman kepada masyarakat
(dalam bentuk sosialisasi langsung).
Kesimpulan
Mitigasi
bencana kebumian/geologis oleh PVMBG, atas kebijakan Badan Geologi dilakukan
sebelum, pada saat dan setelah terjadi bencana. Sebelum bencana difikuskan pada
pemantauan, pemetaan, sistem peringatan dini, dan sosialisasi. Pada saat
terjadi bencana program aksi PVMBG adalah mengirimkan tim tanggap darurat ke
lokasi bencana, jika Pemerintah Daerah kesulitan menanganinya, guna memberikan
rekomendasi tektis penanggulangan bencana, memberikan saran tindak termasuk
menentukan rute dan tempat pengungsian dan bersama-sama aparat Pemerintah Daerah
melakukan sosialisasi tentang tata cara penyelamatan dan penanggulangan bencana.
Setelah terjadi bencana, jika tim tanggap darurat menyatakan daerah bencana
dinyatakan tidak layak huni, maka PVMBG membantu Pemerintah Daerah mencari
lokasi aman terhadap ancaman bencana.
1.
Masih adanya korban (jiwa dan harta benda) dan
pengungsian akibat letusan gunungapi disebabkan
antara lain:
·
Masih banyak dijumpai kegiatan perekonomian dan
permukiman di daerah Kawasan Rawan Bencana Gunungapi. Karena daerahnya subur
cocok untuk pertanian, lingkungan yang masih alami cocok untuk
wisata dan permukiman.
·
Banyaknya aktifitas manusia dekat puncak gunungapi,
sehingga signal to noise ratio terhadap
pemantauan kegempaan gunungapi menjadi sangat kecil/tenggelam, akibatnya tingkat
kegempaan yang merupakan pencerminan aktivitas gunungapi menjadi sulit
dibedakan. Kondisi demikian akan menyulitkan menentukan status kegiatan dan
menciptakan sistem peringatan dini gunungapai yang baik.
·
Kebijakan pemrintah tentang zoro growth menyulitan
peremajaan pegawai serta kurangnya minat lulusan setingkat S1 yang berkualitas
untuk menekuni/bekerja di bidang kebencanaan, sehingga sulit untuk membuat
terobosan baru dalam sistem mitigasi bencana gunungapi.
VI. INFORMASI BENCANA TANAH LONGSOR JEMBER DAN
BANJARNEGARA
1. Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Jember
- Lokasi bencana dan waktu kejadian
Lokasi terjadinya gerakan
tanah yang diikuti oleh banjir bandang terjadi di Kecamatan Panti, Kabupaten
Jember. Bencana terjadi secara bertahap mulai pukul 20:00 WIB pada 1 Januari hingga dini hari 2
Januari 2006.
- Akibat Bencana
·
98 orang meninggal dunia dan puluhan orang
dinyatakan hilang.
·
140 rumah hancur
·
Ratusan hektar lahan pertanian rusak.
- Kondisi daerah bencana
Pada peta zona kerentanan
gerakan tanah (DVMBG-DESDM, 2002) daerah longsoran masuk pada zona kerentanan
gerakan tanah menengah artinya gerakan tanah dapat terjadi terutama pada daerah
perbatasan dengan lembah, gawir, dan tebing atau jika lereng mengalami
gangguan. Gerakan tanah lama masih dapat aktif bergerak terutama jika terjadi
curah hujan yang tinggi atau erosi yang kuat.
Topografi daerah bencana
terdiri dari perbukitan dengan kemiringan sedang hinga terjal(20° hingga 45°),
dengan ketinggian berkisar 460 hingga 500 meter dipermukaan laut.
- Faktor penyebab dan proses terjadinya tanah longsor diikuti oleh banjir bandang
Curah hujan yang tinggi
sebelum dan pada saat terjadi tanah longsor yang diikuti banjir banding
mencapai 120 mm hingga 178 mm/hari.
Kemiringan lereng sedang
hingga curam dan masuk dalam zona kerentanan gerakan tanah menengah.
Terdapat lembah-lembah yang
curam dan dalam sehingga menyebabkan aliran air (run-off) menjadi tinggi dan
erosi yang kuat.
Tanah pelapukan berupa produk
letusan gunungapi yang kurang kompak, daya resap air tinggi, dengan ketebalan
lebih besar dari 2 meter.
Terjadi bendung-bendung alam
akibat longsoran tebing sungai sehingga terjadi akumilasi air, juga terdapat
Cek Dam Kalimanggis di Kali Putih diatas Desa Kemiri. Longsoran bagian atas,
aliran air bercampur lumpur menyebabkan bendung-bendung alam jebol dan mengalir
kebagian hilir menyebabkan erosi pada dinding sungai, menyebabkan longsoran
tebing sungai. Material longsoran bergerak cepat dan berkembang menjadi banjir
banding, menyapu permukiman dan lahan pertanian penduduk di bawahnya.
2.
Bencana Tanah Longsor di
Kabupaten Banjarnegara
a.
Lokasi bencana dan
waktu kejadian.
Longsor
terjadi pada Tanggal 4 Januari 2006 pukul 04.30 WIB di Dusun Gunungraja, Desa
Cijeruk, Kecamata Bamjarmanggu, Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah.
b.
Akibat Bencana
·
Lebih dari 100 rumah tertimbun material longsoran
·
Belum teridentifikasi jumlah korban jiwa
c.
Kondisi daerah bencana
Pada peta zona kerentanan
gerakan tanah (GTL, 1992) daerah longsoran masuk pada zona kerentanan gerakan
tanah tinggi artinya gerakan tanah sering terjadi, gerakan tanah lama dan baru
masih aktif bergerak terutama jika terjadi curah hujan yang tinggi. Berdasarkan
catatan kami, di sekitar lokasi bencana sudah sering terjadi gerakan tanah pada
skala kecil hingga menengah.
Topografi daerah bencana
terdiri dari perbukitan dengan kemiringan sedang hinga terjal(30° hingga 45°),
dengan ketinggian berkisar 600 hingga 700 meter dipermukaan laut.
Permukiman dan aktivitas penduduk yang terkena bencana di bawah bukit
yang terjal, longsoran terjadi pada bukit tersebut dan menimbun permukiman di
bawahnya.
d. Faktor penyebab dan proses terjadinya tanah longsor
Curah hujan yang tinggi
sebelum terjadi gerakan tanah.
Kemiringan lereng bukit di
atas permukiman dan aktivitas penduduk sedang hingga curam dan masuk dalam zona
kerentanan gerakan tanah tinggi.
Vegetasi yang berciri besar,
berakar kuat dan dalam sangat jarang di jumpai pada bukit tersebut, sehingga
kohesi tanah sangat kurang, akibatnya longsoran dapat dipercepat kejadiaannya.
3. Upaya yang telah dan sedang dilakukan
a.
Pada bulan Oktober 2005, Direktorat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral,
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, telah mengirimkan peringatan dini
kepada seluruh Gubernur di Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan menghadapi
kemungkinan terjadinya bencana tanah longsor pada musim penghujan tahun
2005/2006, terutama pada daerah-daerah yang terletak pada zona kerentanan
menengah-tinggi untuk terkena gerakan tanah
b.
Badan Geologi DESDM telah mengirimkan Tim Tanggap
Darurat Bencana Gerakan Tanah ke lokasi bencana, untuk melakukan :
·
Koordinasi dengan aparat Pemerintah Daerah
Kabupaten Banjarnegara dalam upaya penanggulangan bencana,
·
Penyelidikan di lokasi bencana untuk evaluasi
terhadap kemungkinan terjadinya longsor susulan,
·
Menyampaikan rekomendasi teknis tentang tata cara
penanganan dan mitigasi bencana gerakan tanah.
·
Sosialisasi langsung kepada masyarakat dan aparat
pemerintah daerah tentang tata cara penanganan dan mitigasi bencana gerakan
tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar